Beranda | Artikel
Tabarruk Dengan Meminum Air Zamzam
Kamis, 9 Agustus 2012

TABARRUK DENGAN MEMINUM AIR ZAMZAM

Oleh
Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i

Definisi Air Zamzam
Zamzam adalah sumur yang diberkahi lagi terkenal berada di dalam Masjidil Haram di sebelah timur Ka’bah. Adapun asal-usul sumur ini adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma -dari hadits yang panjang- bahwa Ibunya Isma’il ketika merasakan dahaga, ia dan anaknya -Isma’il- mencari air. Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata: “Maka ketika berada di Marwah, ia mendengar suara yang berkata: ‘Diamlah.” (sumber suara tersebut) menginginkan dirinya (Hajar) kemudian ia ingin mendengar dengan seksama lalu ia mendengar suara itu, maka ia berkata: ‘Sesungguhnya engkau telah memperdengarkan kepadaku, adakah bantuan darimu.’ Ternyata ia adalah Malaikat[1] yang berada di tempat zamzam, maka Jibril mencari sumber air dengan tumitnya lalu dengan sayapnya hingga keluarlah air, lalu Ibu Isma’il membuat kolam[2],  ia berkata dengan tangannya begini, lalu ia mulai menggayung air untuk meminumnya, hal tersebut dilakukan dengan cepat setelah menggayung.” Ibnu ‘Abbas berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَرْحَمُ اللهُ أُمَّ إِسْمَاعِيْلَ لَوْ تَرَكَتْ زَمْزَمَ، أَوْ قَالَ: لَوْ لَمْ تَغْرُفْ مِنَ الْمَاءِ لَكَانَتْ زَمْزَمُ عَيْنًا مَعْيْنًا.

Allah telah merahmati Ibu Isma’il, seandainya ia membiarkan zamzam, atau seandainya ia tidak menggayung, maka air zam-zam akan mengalir terus.”[3] Nabi bersabda: “Maka ia meminumnya lalu menyusukan bayinya.”[4]

Air zamzam masih terus keluar dan dimanfaatkan oleh penduduk Makkah hingga kabilah Jurhum[5] meremehkan kehormatan Ka’bah dan negeri Haram, lalu tempat keluarnya air zamzam tersebut menghilang, dan ada yang berpendapat bahwa kabilah Jurhum yang telah mengubur sumber air zamzam tersebut ketika mereka pergi dari Makkah, dan ada juga yang mengatakan bahwa sumber air zamzam terkubur oleh banjir dan hal ini terus berlanjut masa demi masa hingga akhirnya dibuka kembali oleh ‘Abdul Muththalib bin Hasyim, kakek Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan mengetahui berbagai tanda hingga diketahui tempatnya, yaitu ketika ia diingatkan dalam satu mimpi di saat tidurnya, lalu ia diperintahkan untuk menggalinya, maka digalilah dan terpancarlah air zamzam tersebut”[6]

Sesungguhnya sejak masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga saat ini, kaum Muslimin sangat memperhatikan zamzam[7]. Para khalifah dan para ulama serta para pemimpin kaum Muslimin sangat ingin membangun sumur zamzam, merenovasi dan memeliharanya dengan baik agar para jama’ah Haji dan para peziarah negeri Haram mendapatkan kemudahan dalam meminumnya secara leluasa.

Adapun sebab air tersebut dinamakannya dengan zamzam adalah karena faktor banyak dan melimpahnya, dan zamzam menurut orang Arab adalah melimpah dan mengumpul, juga ada pendapat lain, yaitu karena Hajar, Ibu Isma’il, mengumpulkannya ketika air tersebut keluar, lalu ia membuatkan sesuatu semacam kolam, juga ada pendapat lain, yaitu karena suara airnya yang bergemuruh dan meluap-luap ketika keluar, serta beberapa pendapat lainnya[8]. Air zamzam mempunyai banyak nama yang menunjukkan pada keagungan dan keutamaannya, di antaranya adalah Maimunah, Mubarakah, ‘Afiyah dan Maghdziyah[9].

Keistimewaan Air Zamzam
Di antara keutamaan air zamzam dan keberkahannya adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengisitimewakannya dengan kekhususan-kekhususan yang mulia, yang terpenting adalah:

1. Air zamzam merupakan air terbaik di dunia, baik ditinjau dari segi syari’at secara agama maupun kesehatan.
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُ مَاءٍ عَلَى وَجْدِ اْلأَرْضِى مَاءُ زَمْزَمَ.”

Sebaik-baik air yang ada di muka bumi adalah air zamzam.”[10]

Dan diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abu Dzarr Radhiyallahu anhu -pada kisah Isra’ dan Mi’raj- bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“فَنَزَلَ جِبْرِيْلُ فَفَرَّجَ صَدْرِي ثُمَّ غَسَلَهُ بِمَاءٍ زَمَزَمَ.”

Maka Jibril Alaihissallam turun lalu membelah dadaku, kemudian ia mencucinya dengan air zamzam…”[11]

Al-‘Aini berkata: “Hal ini menunjukkan dengan pasti akan keutamaannya, dimana pencucian dada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dikhususkan dengan memakai air zamzam tanpa selainnya.[12]” Oleh karena itu Sirajjudin al-Balqini[13] berkata, “Sesungguhnya air zamzam lebih baik dari air al-Kautsar dengan dasar karena dipakai untuk mencuci dada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidaklah dadanya dicuci kecuali dengan air yang terbaik.”[14]

Secara lahiriyah bahwa pemuliaan air zamzam dinisbatkan dengan air-air yang ada di dunia saja seperti yang dikatakan oleh beberapa ulama. Karena air al-Kautsar (salah satu sumber air di Surga-Ed) termasuk yang menyangkut hari Akhir, maka tidak dapat dibandingkan dengan salah satu bagian dari air-air di dunia[15].  Sebagaimana hadits yang memuliakannya, “Sebaik-baik air di muka bumi adalah air zamzam” menunjukkan hal tersebut.
Wallaahu a’lam.

Hafizh al-‘Iraqi[16] menyebutkan bahwasanya hikmah dibalik pencucian dada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan air zamzam adalah agar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi kuat dalam memandang Malaikat-Malaikat langit dan bumi, Surga dan Neraka, karena dari keistimewaan air zamzam bahwasanya ia dapat meneguhkan hati dan menenteramkan perasaan[17]. Dan akan lebih jelas -insya Allah- pada apa yang menunjukkan atas keutamaan air zamzam dari segi kedokteran (medis)[18].

2. Mengenyangkan peminumnya seperti makanan.
Imam Muslim telah meriwayatkan tentang kisah Abu Dzarr Radhiyallahu anhu bahwasanya ketika ia mendatangi Makkah untuk masuk Islam, ia menetap disana selama 30 hari antara malam dan siang di dalam Masjidil Haram, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya padanya, “Siapakah yang telah memberimu makan?” Ia (Abu Dzarr) menjawab, “Aku tidak mempunyai makanan kecuali air zamzam, lalu aku menjadi gemuk hingga berlemak,[19] perutku berlipat-lipat, aku tidak mendapatkan tanda-tanda kelaparan di atas dadaku.”[20]. Maka, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“إِنَّهَا مُبَارَكَةٌ إِنَّهَا طَعَامُ طُعْمٍ.”

Sesungguhnya ia (air zamzam) diberkahi, ia (juga) merupakan makanan yang berselera.”[21]

Ibnul Atsir berkata, “Sesuatu yang mengenyangkan manusia jika ia meminum airnya seperti ia kenyang dari makanan.”[22] Ibnul Qayyim berkata, “Tentang keistimewaan air zamzam, aku menyaksikan sebagian orang mengkonsumsinya beberapa hari, kira-kira hampir setengah bulan atau lebih dan ia tidak merasakan kelaparan, lalu ia mengikuti Thawaf bersama orang-orang, dikabarkan kepadaku bahwa seandainya ia tetap seperti itu hingga 40 hari lagi, ia akan mempunyai kekuatan dalam melakukan jima’ dengan isterinya, puasa dan Thawaf terus menerus.”[23]

3. Berobat dari berbagai penyakit dengan meminumnya.
Berdasarkan hadits marfu’ dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma : “Sebaik-baik air di dunia ini adalah air zamzam, di dalamnya terdapat makanan yang diinginkan dan obat bagi penyakit.”[24]

Abu Dzarr meriwayatkan suatu hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

زَمْزَمُ طَعَامُ طُعْمٍ وَشِفَاءُ سُقْمٍ.”

Zamzam adalah makanan yang berselera dan obat dari berbagai penyakit.’”

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْحُمَّى مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ فَأَبْرِ دُوْهَا بِمَاءٍ زَمْزَمَ.”

Sesungguhnya sakit demam termasuk dari panasnya Neraka Jahannam, maka dinginkanlah dengan air zamzam.”[25]

Ibnul Qayyim berkata, “Sesungguhnya aku telah mencobanya, begitu pula yang lainnya, berobat dengan air zamzam (sungguh) hal yang menakjubkan, dan aku sembuh dari berbagai penyakit dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.”[26]

4. Bahwasanya air zamzam adalah menurut niat peminumnya.
Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“زَمْزَمُ لِمَا شُرِبَ لَهُ.”

Zamzam menurut apa yang diinginkan oleh peminumnya.”[27]

Dan diriwayatkan dari Mujahid[28] rahimahullah bahwasanya ia berkata, “Air zamzam menurut dari niat peminumnya, jika engkau meminumnya untuk kesembuhan, maka Allah akan menyembuhkanmu dan apabila engkau meminumnya karena kehausan, maka Allah akan memuaskanmu dan apabila engkau meminumnya karena kelaparan, maka Allah akan mengenyangkanmu, ia adalah usaha dari Jibril Alaihissallam,[29]dan pemberian (air minum) Allah kepada Isma’il Alaihissallam.”[30]

Sesungguhnya ulama-ulama besar dan lainnya telah meminum air zamzam dengan maksud-maksud yang berbeda-beda seperti untuk mendapatkan ilmu yang berguna, menghafal hadits, karya yang baik, berobat dari berbagai penyakit, mengetahui suatu ke-gemaran seperti memanah, atau sebagai penangkal dahaga pada hari Kiamat kelak, serta berbagai manfaat dunia dan akhirat lain-nya. Kemudian mereka mendapatkan apa yang mereka minta sesuai dengan niat mereka -seperti yang telah dikabarkan dari sebagian mereka-[31] dan kita berharap sampainya maksud bagi siapa yang meminta apa yang ada di akhirat seperti yang memi-numnya karena haus di hari Akhirat nanti, tidak dapat dihitung keshahihan kabar-kabar yang diriwayatkan ini -secara global- (menguatkan shahihnya hadits air zamzam sesuai dengan niat peminumnya) padahal sanadnya telah shahih)[32]seperti yang telah kita lewati, apa yang menguatkan hal tersebut pada dua keistime-waan yang terakhir dari sifat air zamzam sebagai makanan dan obat penyembuh.

Dan memperoleh manfaat-manfaat tersebut bagi peminumnya adalah -tanpa ragu dan bimbang- dengan taufiq Allah, pertolongan dan rahmat-Nya, hal tersebut merupakan suatu jaminan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala pada air zamzam bahwa ia memiliki keberkahan dan manfaat terutama bagi mereka yang mempunyai niat yang benar.

Telah diriwayatkan dari Ibnul ‘Arabi[33], bahwa ia berkata tentang manfaat air zamzam, “(Manfaat) ini akan ada padanya hingga akhir zaman bagi siapa yang niatnya benar, hati nuraninya lurus, tidak berdusta padanya, dan tidak pula meminumnya hanya untuk coba-coba, karena Allah bersama orang-orang yang bertawakkal dan Allah membuka aib orang-orang yang hanya coba-coba”[34]

5. Dan di antara keistimewaan yang lain dari air zamzam adalah yang disebutkan oleh Iman az-Zarkasyi bahwasanya Allah mengistimewakannya dengan mengasinkannya agar yang menjadi pendorong dan motifatornya adalah pancaran iman.
Kalaulah Allah menjadikannya tawar, maka kebutuhan sebagai manusia biasa akan mengungguli imannya dalam meminumnya[35].

Maksudnya adalah apa yang dikatakan oleh salah seorang ulama, “Rasanya tidak terasa segar dan tawar, agar meminumnya sebagai ibadah bukan kebutuhan”[36]

Sesungguhnya az-Zarkasyi juga telah menyebutkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengagungkan air zamzam pada musim Haji[37], dan memperbanyak hal-hal ajaib di luar kebiasaan sumur-sumur lain dan terasa manis. Lalu ia melanjutkan, “Kita dan orang lain telah menyaksikan itu semua.”[38] Dan yang perlu diperhatikan adalah murninya air zamzam dan tidak tercampur oleh hal-hal lain di setiap saat, hal itu telah dibuktikan oleh penelitian modern. Akhir-akhir ini para peneliti melaksanakan penelitian mereka dengan mengambil zat-zat yang terkandung dalam air zamzam, maka didapatkan bahwa air tersebut tidak pernah tercampur oleh sesuatu apapun di setiap waktu yang akan mengurangi kemurnian zatnya yang langsung diambil dari sumur zamzam atau mengurangi kemaslahatannya untuk diminum, yang demikian ini dilihat dari segala bentuk ukuran yang dilakukan padanya.[39]

Oleh karena itu, Pusat Kesehatan Jantung Arab Saudi melaksanakan pencucian jantung orang sakit dengan memakai air zamzam yang suci sebagai pengganti dari zat-zat klinis seperti yang diungkapkan oleh salah satu majalah[40],  inilah keistimewaan-keistimewaan penting air zamzam yang diberkahi, sesungguhnya para ulama telah menyebutkan keistimewaan dan kelebihan lain yang membutuhkan landasan dalil yang shahih[41].

Saya menutup pembahasan ini dengan perkataan Ibnul Qayyim tentang keutamaan air zamzam dan kemuliaannya atas yang lainnya: “Air zamzam adalah air yang termulia, terbaik dan yang teragung kedudukannya, sangat dicintai oleh jiwa manusia, sangat mahal harganya dan sangat berharga bagi manusia, ia merupakan hasil usaha Malaikat Jibril Alaihissallam dan pemberian minum dari Allah untuk Isma’il.”[42]

[Disalin dari buku At Tabaruk Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu, Judul dalam Bahasa Indonesia Amalan Dan Waktu Yang Diberkahi, Penulis Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1] Ia adalah Jibril Alaihissallam seperti yang disebutkan pada riwayat yang lain dari al-Bukhari rahimahullah.
[2] Yaitu menjadikannya seperti kolam (telaga) agar air tidak terus mengalir. ‘Umdatul Qaari (XV/257).
[3] Dengan memfat-hahkan mim, yang artinya mengalir di atas bumi. ‘Umdatul Qari (XV/253).
[4] Shahih al-Bukhari (IV/113) kitab Ahaaditsul Anbiyaa’
[5] Mereka berasal dari al-Qahthaniyah, awalnya tempat tinggal mereka adalah negeri Yaman, lalu mereka pindah ke Hijaz dan menetap di sana, kemudian ke Makkah dan menjadikan negeri tersebut sebagai tempat tinggal. Mu’jam Qabaa-ilil ‘Arab al-Qadiimah wal Haditsah, ‘Umar Ridha Kuhalah (I/183).
[6] Dari kitab Syifaa-ul Gharaam bi Akhbaaril Baladil Haraam, al-Farisi al-Makki (I/247-248) dan al-Jaami’ul Lathiif, Ibnu Zhahirah (hal. 259) dengan sedikit perubahan.
[7] Bukan menjadi rahasia lagi pada masa sekarang mengenai perhatian yang besar dari pemerintah Saudi -semoga Allah senantiasa menunjukkannya kepada kebaikan- terhadap zam-zam, lihat jika perlu mengenai usaha besar yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk membangun sumur zam-zam dan menyediakan airnya bagi peziarah negeri haram, dalam ketetapan Wakaalatul Anba’ Saudi tertanggal 13/12/1406 H dan juga bisa dilihat dalam buku memorial Wakaalatul Anba’ hal. 47-51, cet. tahun 1408 H.
[8] Lihat kitab Mu’jamul Buldaan, al-Hamawu (III/147), kitab Syifaa-ul Gharaam, al-Fasi (I/252), Tuhfatur Raaki’ was Saajid fii Ahkaamil Masajid, Abu Bakr al-Jara’i (hal. 57).
[9] Lihat Mu’jamul Buldaan, al-Hamawi (III/148), Syifaa-ul Gharaam, al-Fasi (I/251-252) dan Tuhfatur Raaki’ was Saajid (hal. 58-60).
[10] Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir (XI/98). Al-Hafizh al-Mundziri berkata: “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir dan para perawinya dapat dipercaya, Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya.” At-Targhiib wat Tarhiib, karya al-Mundziri (II/209).
Demikian juga yang dikatakan oleh al-Haitsami. Lihat Majma’uz Zawaa-id (III/286). Imam as-Suyuthi mengatakan hadits ini hasan, al-Jaami’ush Shaghiir (II/10). Al-Albani berkata, “Paling kurang sanadnya hasan.” Silsilah al-Ahaadits ash-Shahiihah (III/45). Dan saya tidak menemukan hadits ini di dalam kitab Shahih Ibni Hibban
[11] Shahih al-Bukhari (II/167) kitab haji bab riwayat-riwayat tentang zamzam
[12] ‘Umdatul Qaari (IX/277).
[13] Beliau adalah ‘Umar bin Ruslan bin Nashir al-Kinani al-‘Asqalani lalu al-Baqini al-Mishri asy-Syafi’i Abu Hafs Sirajjudin, hafizh, faqih , seorang mujtahid, memiliki beberapa karya tulis, di antaranya Mahaasinul Ishthilaah fil Hadiits, al-Ajwibah al-Mardhiyah ‘alal Masaa-il al-Makkiyah, wafat di Kairo tahun 805 H
[14] Syifaa-ul Gharaam, al-Fasi (I/252).
[15] Lihat al-Jaami’ul Lathiif, Ibnu Zhahirah (hal. 268).
[16] Beliau adalah ‘Abdurrahim bin al-Husain bin ‘Abdirrahman al-‘Iraqi Abul Fadhl Zainuddin, imam yang terkenal dengan nama al-Hafizh al-‘Iraqi, ia merupakan seorang hafizh pada masanya, sibuk dengan ilmu hadits dan menguasainya, mempunyai beberapa karya, di antaranya al-Alfiyah fii Mush-thalahil Hadiits, Nuzhuumu Ghariibil Qur-aan, Taqriibul Asaanid wa Tartiibul Masaanid, wafat tahun 806 H di Kairo, lihat Thabaqatul Huffaazh, as-Suyuthi (hal. 543), Syadzaaraatudz Dzahaab (VII/55) dan al-Badaruth Thaali’ (I/354) serta al-A’lam (III/344).
[17] Syifaa-ul Gharaam, al-Fasi (I/252).
[18] Ibid, (I/256).
[19] Al-‘Ukanu adalah bentuk jamak dari ‘uknah ia merupakan lipatan yang terdapat diperut karena kegemukan. Jika dikatakan, “Ta’akkanal bathnu,” yaitu jika menjadi berlipat-lipat, diambil dari kitab ash-Shihah, al-Jauhari (VI/2165).
[20] Yakni ttipis dan kurus. السَّخْفُ dengan memfat-hahkan sin, yaitu hidup yang ringan dan dengan mendhammahkannya berarti akal yang lemah. Dikatakan bahwa ia adalah keringanan yang menyerang manusia bila lapar. Di antara arti kata dari as-sakhfu yaitu keringanan atau kelemahan pada akal maupun lainnya. An-Nihaayah, Ibnul Atsir (II/350).
[21] Shahih Muslim (IV/1922) kitab keutamaan-keutamaan para Sahabat Radhiyallahu anhum bab di antara keutamaan Abu Dzarr Radhiyallahu anhu.
[22] An-Nihaayah, Ibnul Atsir (III/125).
[23] Zaadul Ma’aad, Ibnul Qayyim (IV/393).
[24] Diriwayatkan oleh ath-Thayalisi dalam Musnadnya. Lihat Minhaatul Ma’buud fii Tartiibi Musnaadith Thayalisi, Abu Dawud (II/203). Diriwayatkan juga oleh al-Bazzar, lihat Kasyful Astaar ‘an Zawaa-idil Bazzar (II/47). Al-Mundziri berkata, “Diriwayatkan dari al-Bazzar dengan sanad yang shahih.” At-Tar-ghiib wat Tarhiib (II/209), al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan ath-Thabrani dalam ash-Shagiir, dan para perawinya shahih.” Majmaa-uz Zawaa-id wa Manbaa’ul Fawaa-id, al-Haitsami (III/286), as-Suyuthi memberikan hukum bahwa ia shahih. Al-Jaami’ush Shagiir (II/28), hadits ini diriwayatkan dalam kitab Imam Muslim seperti yang telah berlalu
[25] Diriwayatkan oleh Iman Ahmad dalam Musnadnya (I/391), Ibnu Hibban dalam Shahihnya (al-Ihsaan bi Tartiib Shahiih Ibni Hibban) (VII/623) kitab ath-Thibb. Dan diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya tanpa jazam (“maka dinginkanlah dengan air” atau “dengan air zamzam”) Hamam, salah seorang perawinya merasa ragu. Telah ada hadits-hadits dalam masalah ini (“maka dinginkanlah dengan air”), sebagian ulama berkata, “Sesungguhnya maksud disebutkan dalam hadits ini, dengan air zamzam bagi penduduk Makkah, karena lebih mudah bagi mereka dari yang lainnya. Adapun selain mereka, maka dengan air yang ada pada mereka, wallaahu a’lam. Al-Fat-hur Rabbaani li Tartiib Musnad Iman Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani, Ahmad bin ‘Abdirrahman al-Banna (XVII/159), lihat at-Thibbun Nabawi, Ibnul Qayyim (hal. 22).
[26] Zaadul Ma’aad, Ibnul Qayyim (IV/393).
[27] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya (II/1018) kitab al-Manasik bab asy-Syurbu min Zamzam, Imam Ahmad dalam Musnadnya (III/357), ad-Dimyati berkata, “Diriwayatkat oleh Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad yang hasan.” Al-Muttajar ar-Rabih fii Tsawaabil Amalish Shaalih, ad-Dimyati (hal. 318) bab Tsawaabu Syurbi Maa-i Zamzam. Ibnul Qayyim ber-kata, “Hadis ini hasan.” Zaadul Ma’aad (IV/393). Az-Zarkasyi berkata, “Hadits ini juga diriwayatkan dari beberapa jalan yang shahih.” I’lamus Saajid bi Ahkaamil Masaajid (hal. 206), as-Suyuthi berkata, “Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad yang baik.” Al-Hawi lil Fataawaa (II/81). Al-Albani berkata, “Shahih.” Irwaa-ul Ghaliil fii Takhriiji Ahaadits Manaaris Sabiil (IV/320).
[28] Namanya adalah Mujahid bin Jabr al-Makki Abul Hajjaj al-Makhzumi al-Muqri al-Mufassir al-Hafizh. Sahabat dari as-Saib bin Abi Sa’id al-Faqih, sangat berhati-hati dan suka beribadah. Mujahid berkata, “Aku membaca al-Qur-an di hadapan Ibnu ‘Abbas sebanyak 3 kali bacaan, aku berhenti pada setiap ayat dan bertanya kepada beliau tentang apa ayat ini turun dan bagai-mana ia turun. Wafat tahun 103 H. Lihat Tadzkiiratul Huffaazh (I/92), Tahdziibut Tahdziid (X/42) dan Thabaqaatul Huffaazh, as-Suyuti (hal. 42).
[29] Yakni dengan menghentakkan dengan kakinya lalu keluarlah air. Al-Hazmah adalah lubang pada dada, hazamtul bi’-r yaitu menggali sumur. An-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits wal Atsaar, Ibnul Atsir (V/263).
[30] Diriwayatkan oleh Imam ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannif (V/118) dan al-Azraqi dalam Akhbaaru Makkah wa maa Jaa-a fii Hamnal Atsaar (II/50), lafazh ini darinya. Diriwayatkan pula oleh ad-Daraquthni dalam Sunannya (II/289), secara marfuu’ dari Mujahid dan Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma namun sanadnya lemah. Al-Albani berkata, “Yang benar adalah mauquf pada Mujahid.” Lalu ia mengatakan bahwa jikalau dikatakan, maka sesunguhnya ia tidak dika-takan dari akal semata. Oleh karena itu, ia dalam hukum marfu’, jika ini diterima, maka ia termasuk dalam hukum mursal, dan itu adalah lemah, wallaahu a’lam. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (IV/329-332), al-Maqaashid al-Hasanah fii Bayaani Kastir minal Ahaaditsi Masyhuurati ‘alal Sinah, asy-Syakhawi (hal. 375), Kanzul Ummal fii Sunanil Aqwaal wal Af’aal, ‘Alauddin al-Hindi (XII/224).
[31] Lihat Zaadul Ma’aad, Ibnul Qayyim (IV/393), Syifaa-ul Gharaam, al-Fasi (I/255), al-Maqaasidul Hasanah, as-Sakawi (hal. 357) dan al-Jaami’ul Lathiif, Ibnu Zhahirah (hal. 264-267).
[32] Al-Jaami’ul Lathiif, Ibnu Zhahirah (hal. 267).
[33] Beliau adalah Muhammad bin ‘Abdillah bin Muhammad Abu Bakar yang dikenal dengan sebutan Ibnul ‘Arabi al-Asyibili al-Maliki, seorang imam dan ulama, al-Hafizh, hakim yang sangat faqih, berilmu, zahid dan rajin ibadah. Mempunyai beberapa karya tulis, yaitu kitab tafsir yang terkenal, ‘Ariidhatul Ahwadzi fii Syarh Jaami’ at-Tirmidzi, al-Mahshuul fil Ushuul, wafat th. 543 H. Lihat Wafaayatul A’yaan (IV/296), Siyar A’lamin Nubalaa’ (XX/197), Tadzkiiratul Huffaazh (IV/1294) dan Syadzaaraatudz Dzahab (IV/141).
[34] Lihat al-Jaami’ li Ahkaamil Qur-aan, al-Qurthubi (IX/370).
[35] I’lamus Saajid bi Ahkaamil Masaajid, az-Zarkasyi (hal. 206).
[36] Diriwayatkan dari Syaikh ‘Abdullah bin Hamid dalam kitab Hidaayatun Nasik ila Ahammil Manaasik (hal. 51), dari Ibnu ‘Arafah
[37] Yakni pada musim Haji.
[38] I’laamus Saajid, az-Zarkasyi (hal. 206).
[39] Dari keputusan Wakaalatul Anba’ as-Su’udiyyah tahun 1406 H, khususnya zamzam, didapatkan dalam kandungan buku memorial Wakaalatul Anba’ as-Su’udiyyah yang terbit tahun 1408 H (hal. 58). Lihat juga buku tentang zamzam, Tha’aamu Thu’m wa Syifaa-u Suqmin, Ir. Yahya Hamzah Kusyak (hal. 109 dan setelahnya), penulis menyebutkan beberapa tabel untuk me-ngetahui kandungan air zamzam dan penerimaannya terhadap semacamnya dari sumur-sumur yang ada di dekatnya
[40] Lihat majalah ‘Arab edisi 127 (hal. 98) bulan Sya’ban 1408 H.
[41] Lihat Akhbaaru Makkah, al-Azraqi (II/59), I’laamus Saajid, az-Zarkasyi (hal. 206), Syifaa-ul Gharaam, al-Fasi (II/256).
[42] Zaadul Ma’aad (IV/392).


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3332-tabarruk-dengan-meminum-air-zamzam.html